Teori Dewey
John
Dewey adalah seorang filsuf dan pendidik, yang lahir 20 Oktober 1859 di Burlington,
Vermont dan meninggal 01 Juni 1952. Dewey pernah menjadi guru besar dalam
bidang filsafat dan kemudian dalam bidang pendidikan pada beberapa universitas.
Sepanjang kariernya, dewey telah menghasilkan 40 buku dan lebih dari 700-an
artikel. Dewey merupakan salah seorang tokoh pendidikan berkebangsaan Amerika
yang menawarkan tentang pola pendidikan partisipatif. Yang bertujuan untuk lebih
memberdayakan peserta didik dalam jalannya proses
pendidikan.
Pendidikan
partisipatif akan membawa peserta didik untuk mampu berhadapan secara langsung
dengan realitas yang ada di lingkungannya. Sehingga, peserta didik dapat mengintegrasikan
antara materi yang ia pelajari di kelas dengan realitas yang ada. Konsep pendidikan
John Dewey, tidak bisa serta merta diterapkan di Indonesia. Sebab, secara psikologis
dan sosiologis negara kita berbeda dengan Amerika. Dewey termasuk aliran
pendidikan yang progresif dimana Dewey mengutamakan pada pengertian dan belajar
bermakna, maksudnya anak didik yang belum “siap” jangan di paksa belajar.
Para
pendidik atau orang tua sebaiknya menunggu kesiapan peserta didik atau anak
untuk belajar, atau dapat di lakukan mengatur suasana pangajaran sehingga siswa
siap untuk belajar. Setiap orang telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan di
dalam dirinya serta pengalaman dan pengetahuan ini tertata dalam bentuk
struktur kognitif. Pengalaman dan pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses
penginderaan yang selanjutnya akan masuk ke dalam memori serta tersusun dalam
struktur kognitif.
Pada
tahap selanjutnya pengalaman dan pengetahuan yang telah tersusun secara kognitif
tersebut akan bekerja secara psikomotorik untuk pemecahan masalah bagi siswa. Dari
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor kognitif berasal dari
pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa. Menurut teori ini, proses
belajar akan berjalan dengan baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi (bersinambungan)
secara tepat dan serasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa.
Teori
kognitif John Dewey dapat diaplikasikan dalam pembelajaran siswa
khususnya
pada pembelajaran kognitif. Pembelajaran kognitif menekankan pada keaktifan
siswa dalam berpikir untuk memecahkan masalah dengan cara merekonstruksi
masalah dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah didapat. Hal ini tentunya
akan melatih siswa untuk berpikir secara rasional dalam memecahkan masalah.
Proses pembelajaran kognitif harus dilakukan secara berkelanjutan agar ada perkembangan
dalam kemampuan berpikir siswa.
Tujuan
pendidikan menurut teori belajar kognitif:
1. Menghasilkan
individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap
persoalan yang dihadapi.
2. Kurikulum
dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan
dan keterampilan dapat direkonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan
memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.
3. Ketiga,
Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat
menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru berfungsi sebagai
mediator, fasilitator, dan teman yang membuat situasi menjadi kondusif untuk terjadinya
konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Dari
penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa pendidikan kognitif lebih mengarah
pada kemandirian siswa dengan kata lain guru hanya menjadi mediator atau
menyampaikan materi pendidikan.
Penerapan Teori Dewey dalam Pembelajaran
Dengan
demikian seorang guru harus berperan sebagai mediator atau fasilitator yang
membantu proses belajar seorang siswa. Oleh kerena itu, seorang guru memiliki
tiga tugas utama:
1. Guru
menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa menyusun rancangan
belajar. Guru menyediakan pengalaman belajar bagi siswa itu sendiri, sehingga mengajar
dalam bentuk ceramah bukanlah menjadi tugas utama seorang guru.
2. Guru
memberikan kegiatan-kegiatan yang membangkitkan rasa ingin tahu siswa dan
membantu siswa untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya atau mengkomunikasikan
ide ilamiah mereka. Dengan kata lain, guru memberi semangat kepada siswa untuk
berpikir, mencari pengalaman baru. Bahkan guru perlu memberikan pengalaman
konflik, yakni pemaparan mengenai sebuah kasus atau persoalan yang perlu dipecahkan
sendiri oleh siswa tersebut.
3. Guru
memonitor atau mengevaluasi apakah proses berpikir siswa dan cara mengekspresikan
pikiran berhasil atau tidak. Guru yang baik seharusnya tidak mengajukan solusi
yang tunggal tanpa argumen terhadap satu persoalan.
Penting
bagi siswa mempunyai pengalaman tentang memecahkan pengalaman, dialog,
mengekspresikan pikiran melalui tulisan, gambar dan lain-lain, termasuk pengalaman
refleksi. Semua pengalaman ini dapat dikembangkan melalui
dua hal, Pertama,
karya tulis: dalam menyusun karya seorang siswa
diharapkan untuk mengembangkan pikirannya tentang pokok persoalan yang
dipilihnya. Kedua,
studi kelompok: dalam studi kelompok semua siswa
diharapkan mengembangkan pikirannya secara kolektif. Pandangan atau pendapat
setiap orang menjadi masukan bagi yang lain untuk memperkaya pengetahuannya.
Sumber :
(Zubaidah Amir, M.Pd. dan Dr. Risnawati, M.Pd., 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar