Halaman

Minggu, 16 Juni 2019

Teori Belajar Menurut Dewey


Teori Dewey


John Dewey adalah seorang filsuf dan pendidik, yang lahir 20 Oktober 1859 di Burlington, Vermont dan meninggal 01 Juni 1952. Dewey pernah menjadi guru besar dalam bidang filsafat dan kemudian dalam bidang pendidikan pada beberapa universitas. Sepanjang kariernya, dewey telah menghasilkan 40 buku dan lebih dari 700-an artikel. Dewey merupakan salah seorang tokoh pendidikan berkebangsaan Amerika yang menawarkan tentang pola pendidikan partisipatif. Yang bertujuan untuk lebih memberdayakan peserta didik dalam jalannya proses
pendidikan.
Pendidikan partisipatif akan membawa peserta didik untuk mampu berhadapan secara langsung dengan realitas yang ada di lingkungannya. Sehingga, peserta didik dapat mengintegrasikan antara materi yang ia pelajari di kelas dengan realitas yang ada. Konsep pendidikan John Dewey, tidak bisa serta merta diterapkan di Indonesia. Sebab, secara psikologis dan sosiologis negara kita berbeda dengan Amerika. Dewey termasuk aliran pendidikan yang progresif dimana Dewey mengutamakan pada pengertian dan belajar bermakna, maksudnya anak didik yang belum “siap” jangan di paksa belajar.
Para pendidik atau orang tua sebaiknya menunggu kesiapan peserta didik atau anak untuk belajar, atau dapat di lakukan mengatur suasana pangajaran sehingga siswa siap untuk belajar. Setiap orang telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan di dalam dirinya serta pengalaman dan pengetahuan ini tertata dalam bentuk struktur kognitif. Pengalaman dan pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses penginderaan yang selanjutnya akan masuk ke dalam memori serta tersusun dalam struktur kognitif.
Pada tahap selanjutnya pengalaman dan pengetahuan yang telah tersusun secara kognitif tersebut akan bekerja secara psikomotorik untuk pemecahan masalah bagi siswa. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor kognitif berasal dari pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa. Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi (bersinambungan) secara tepat dan serasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa.

Teori kognitif John Dewey dapat diaplikasikan dalam pembelajaran siswa
khususnya pada pembelajaran kognitif. Pembelajaran kognitif menekankan pada keaktifan siswa dalam berpikir untuk memecahkan masalah dengan cara merekonstruksi masalah dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah didapat. Hal ini tentunya akan melatih siswa untuk berpikir secara rasional dalam memecahkan masalah. Proses pembelajaran kognitif harus dilakukan secara berkelanjutan agar ada perkembangan dalam kemampuan berpikir siswa.
Tujuan pendidikan menurut teori belajar kognitif:
1.     Menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.
2.    Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat direkonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.
3.    Ketiga, Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru berfungsi sebagai mediator, fasilitator, dan teman yang membuat situasi menjadi kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa pendidikan kognitif lebih mengarah pada kemandirian siswa dengan kata lain guru hanya menjadi mediator atau menyampaikan materi pendidikan.

Penerapan Teori Dewey dalam Pembelajaran
Dengan demikian seorang guru harus berperan sebagai mediator atau fasilitator yang membantu proses belajar seorang siswa. Oleh kerena itu, seorang guru memiliki tiga tugas utama:
1.     Guru menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa menyusun rancangan belajar. Guru menyediakan pengalaman belajar bagi siswa itu sendiri, sehingga mengajar dalam bentuk ceramah bukanlah menjadi tugas utama seorang guru.
2.    Guru memberikan kegiatan-kegiatan yang membangkitkan rasa ingin tahu siswa dan membantu siswa untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya atau mengkomunikasikan ide ilamiah mereka. Dengan kata lain, guru memberi semangat kepada siswa untuk berpikir, mencari pengalaman baru. Bahkan guru perlu memberikan pengalaman konflik, yakni pemaparan mengenai sebuah kasus atau persoalan yang perlu dipecahkan sendiri oleh siswa tersebut.
3.    Guru memonitor atau mengevaluasi apakah proses berpikir siswa dan cara mengekspresikan pikiran berhasil atau tidak. Guru yang baik seharusnya tidak mengajukan solusi yang tunggal tanpa argumen terhadap satu persoalan.

Penting bagi siswa mempunyai pengalaman tentang memecahkan pengalaman, dialog, mengekspresikan pikiran melalui tulisan, gambar dan lain-lain, termasuk pengalaman refleksi. Semua pengalaman ini dapat dikembangkan melalui
dua hal, Pertama, karya tulis: dalam menyusun karya seorang siswa diharapkan untuk mengembangkan pikirannya tentang pokok persoalan yang dipilihnya. Kedua, studi kelompok: dalam studi kelompok semua siswa diharapkan mengembangkan pikirannya secara kolektif. Pandangan atau pendapat setiap orang menjadi masukan bagi yang lain untuk memperkaya pengetahuannya.


Sumber :
(Zubaidah Amir, M.Pd. dan Dr. Risnawati, M.Pd., 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar